'Menulis Serius': Menemani Saudara di Pinggir Alas

Tulisan pendek yang 'kurang berisi', tentang sekilas, iya sekilas, bagaimana upaya agar saudara-saudara kita yang menguntai kisah di sekitar hutan konservasi agar lebih berdaya dan lebih merasa nyaman hidup di sekitaran hamparan yang konon dulu dianggap kawasan haram. ‘Kurang berisi’ dan ‘sekilas’, karena tulisan ini hanya mengulas sedikit kulitnya, kalopun ada yang sedikit detail, untuk pemanis saja. Karena memang panjang tulisan dijatah tidak lebih dari 4 halaman di Majalah Rimbawani. Karena memang dibuat agak kesusu, bukan kesikut, beradu deadline tim redaksi majalah itu. Karena memang kapasitas saya belum mampu mengupas lebih dalam lagi. Sepertinya alasan terakhir ini yang paling pas…😗

Jujur, bukan kacang ijo, sedih kalo masih dengar orang yang meng-klaim udah memberdayakan masyarakat ketika hanya sekedar ngasih bantuan aja, abis itu plassshh…ditinggal mingg*t. Pengin rasanya saya ngeplak ndhase. Jangankan ‘ngopi bareng’, kenal aja nggak. Lha kok nggak pake nanya-nanya tiba-tiba ngasih barang, hanya demi realisasi anggaran atau 'titel' bahwa telah melakukan 'pemberdayaan masyarakat'. Ya kalo barang itu kepakai. Kalo nggak? Paling-paling cuma akan menuh-menuhin gudang kantor balai desa, teronggok, karatan, lemas, sedih, pilu….😢. Beneran deh, yang kayak gini bener-bener bertentangan dengan titah Bu Tejo, "Jadi orang itu mbok yang solutip...".

Semoga yang seperti itu sekarang udah nggak ada lagi.

Bantuan ke saudara kita di sisi wana, kalau memang ada ya alhamdulillah -mereka akan menerima. Namun lebih dari itu, mereka akan lebih senang kalau ditemani, didengarkan, didampingi. Bagi pengelola hutan konservasi, mereka adalah modal berharga. Secara, mereka adalah orang yang paling mahfum keadaan kawasan itu. Sehat sakitnya hutan bisa jadi tergantung oleh mereka.

Hutan konservasi tidak lagi berperan menjadi wilayah wingit yang tidak siapapun boleh memasukinya. Celah terang telah dibuat untuk dilewati masyarakat yang ingin memanfaatkan kekayaan yang dimiliki sang rimba, meskipun masih tetap ada batasan, dengan lestari. Dampingi saudara-saudara kita di pinggir alas, tidak sebentar memang, namun saya berkeyakinan itu akan menjadi peringan beban masalah kawasan. 

Ini 'tulisan serius' saya.....


Rangkul Masyarakat, Jaga Lestari

 

Kawasan konservasi di Indonesia seluas 27,14 juta hektare berada di 6.747 desa dengan jumlah penduduk kurang lebih 16 juta jiwa. Sebuah tantangan sekaligus potensi bagi pengelolaan kawasan konservasi. Tantangan pengelolaan kawasan konservasi memang bukan hanya memastikan bahwa proses ekologis berlangsung yang menjamin rantai makanan satwa liar di dalamnya, tetapi juga bagaimana kawasan konservasi tersebut memberikan manfaat nyata secara ekonomi dan jasa lingkungan kepada tetangganya, yaitu desa-desa tersebut, masyarakat di dalam desa. Seperti yang pernah disampaikan oleh Jack Westoby (1967), “Forestry is not about trees, it is about people. And it is about trees only in so far as trees can serve the needs of the people”

Kawasan konservasi memiliki nilai ekonomi yang besar yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Sebagai contoh sederhana, berikut adalah cuplikan dari kajian nilai ekonomi yang dilakukan teman-teman Balai Taman Nasional Gunung Merapi:

Masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Merapi memenuhi kebutuhan pakan ternak peliharaannya dari pengambilan rumput dari dalam kawasan taman nasional. Jumlah peternak sapi baik sapi potong maupun sapi perah mencapai 3.631 keluarga dengan kepemilikan rata-rata sebanyak 2,32 ekor. Sementara, jumlah peternak kambing mencapai 956 keluarga dengan kepemilikan rata-rata sebanyak 6,84 ekor. Secara rerata, kebutuhan rumput/pakan ternak adalah sebesar 41,92 kg per hari per ekor sapi dan 11,01 kg per hari per ekor kambing. Dalam jumlah kecil, setidaknya 54 keluarga memelihara 270 ekor kelinci, dimana setiap kelinci membutuhkan rumput rerata 2,0 kg per hari.

Dengan menggunakan asumsi bahwa TN Gunung Merapi hanya berkontribusi pada separuh kebutuhan pakan ternak, asumsi bahwa harga per ikat rumput sebesar Rp 10.000,-. Harga rumput di daerah penyangga TN Gunung Merapi bervariasi dari Rp 5.000,- sampai Rp 75.000,- per ikat berdasarkan waktu dan lokasi, maka jumlah rumput yang dimanfaatkan dari dalam kawasan konservasi ini adalah sebesar 221,7 ton per hari atau 77.618,63 ton per tahun atau senilai 19,4 milyar rupiah. Contoh lain adalah di Taman Nasional Baluran, nilai ekonomi yang dapat diperoleh masyarakat sekitar setiap tahunnya dari taman nasional tersebut diperkirakan mencapai 19 miliar rupiah, Sumbangan paling besar juga berasal dari rumput, selain juga dari ‘sumber’ yang lain.

Dengan sebegitu besarnya nilai kawasan konservasi beserta masyarakat yang memanfaatkannya, sudah seharusnya pengelola kawasan memanfaatkan potensi orang-orang yang tinggal di sekitar kawasan konservasi tersebut. Memberdayakan masyarakat, atau setidaknya ‘menyapa’ mereka menjadi hal yang wajib bagi pengelola kawasan konservasi. Masyarakat adalah pihak yang paling mengetahui situasi, kondisi kawasan konservasi, karena selama ini mereka yang menunggu area itu. Dengan berteman dengan masyarakat, masalah keterbatasan personil yang dimiliki pengelola kawasan dalam menjaga kawasan akan lebih terbantu oleh ‘keramahan’ masyarakat.

Kawasan memang harus tetap lestari, namun sebagaimana disampaikan di atas, masyarakat juga harus nyaman dan bisa menerima manfaat dari kawasan. Pemberdayaan masyarakat dengan segala macam kegiatan di dalamnya, menjadi salah satu cara pengelola kawasan mengajak masyarakat bersinergi untuk kemaslahatan bersama.

Memberdayakan Masyarakat

Sebenarnya pesan untuk memberdayakan masyarakat sekitar kawasan konservasi sudah ada sejak lama, bahkan hal tersebut telah disampaikan dalam payung hukum yang kuat. Pasal 49 Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2011 jo 108 tahun 2015 menyatakan bahwa dalam rangka menyejahterakan masyarakat, pemerintah wajib melakukan pemberdayaan masyarakat di sekitar Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Hal ini diperkuat oleh Peraturan Menteri LHK Nomor 43 tahun 2017 tentang Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Secara garis besar, tujuan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi adalah untuk mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan tersebut untuk mendukung kelestarian kawasan konservasi. Beberapa hal yang ingin dicapai dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat ini antara lain:

  • interaksi negatif masyarakat atas sumber daya alam di kawasan konservasi berkurang,
  • kesejahteraan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan meningkat,
  • membantu masyarakat menggali dan mengembangkan peluang-peluang yang ada bagi pengembangan ekonomi produktif,
  • menguatkan kelembagaan masyarakat,
  • pemahaman masyarakat atas manfaat dan kepentingan keberadaan kawasan konservasi meningkat.

Pendampingan menjadi hal yang terpenting dalam proses pemberdayaan masyarakat. Bantuan-bantuan yang diberikan oleh pengelola kawasan tidak akan ada artinya tanpa sentuhan bernama pendampingan. Masyarakat perlu diajak ngobrol, ngopi bareng, dan paling penting, didengarkan. Dengan begitu, ketika kesepahaman sudah menyatu, kegiatan untuk memberdayakan mereka akan lebih mudah dilaksanakan. Salah satu kegiatan untuk memberdayakan masyarakat adalah dengan menciptakan usaha ekonomi produktif. Selama kurun waktu 2015 – 2019, tercatat terdapat 547 kelompok masyarakat di 378 desa sekitar kawasan konservasi yang telah mempunyai usaha kelompok dengan melibatkan 15.208 orang.

Ada beberapa contoh sukses hasil kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis lingkup KSDAE, misalnya pendampingan yang dilakukan pada Kelompok Kena Nembey di Kampung Tablasupa, Kabupaten Jayapura - Papua yang berbatasan langsung dengan Cagar Alam Pegunungan Cycloop. Dulunya masyarakat kampung tersebut berinteraksi dengan kawasan dengan cara berkebun campuran dengan sistem berpindah, perburuan tumbuhan dan satwa endemik Papua serta aktivitas tambang untuk keperluan sehari-hari. Pendampingan oleh Balai Besar KSDA Papua sejak tahun 2017 terhadap kelompok tersebut dikomandoi oleh Kepala Resort Tepera Yenewa Yosu, Chandra Lumban Gaol, mencoba mengalihkan aktivitas masyarakat di kawasan dalam kegiatan pembuatan kerajinan replika burung cenderawasih dan perahu tradisional, makanan tradisional, peternakan dan jasa wisata alam. Dan ternyata kegiatan tersebut berhasil menaikkan pendapatan anggota Kelompok Kena Nembey sehingga sampai dengan saat ini aktivitas tersebut terus dilakukan, karena lebih menjanjikan, dengan didukung penuh oleh Pemerintahan Kampung Tablasupa.

Contoh konkret lain adalah pendampingan masyarakat yang dilakukan oleh tim Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung terhadap Kelompok Tani Hutan (KTH) Samber di Desa Samaenre, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Pembinaan dan pendampingan terhadap 30 orang anggota kelompok tersebut secara nyata telah memberikan manfaat berupa kenaikan pendapatan yang cukup signifikan melalui usaha jamur tiram yang dijalankan dua setengah tahun terakhir. Pada awal pembentukan kelompok ini, pendapatan rata-rata kelompok sebesar Rp 1.100.000,- per bulan. Namun setelah dilakukan rangkaian pendampingan intensif oleh Resort Mallawa yang dikoordinir oleh Andi Subhan, mulai dari fasilitasi pembentukan kelompok, peningkatan kapasitas, sampai dengan pemberian bantuan, sampai dengan saat ini pendapatan rata-rata anggota kelompok mencapai tujuh jutaan rupiah per bulan.

Ada hal yang menarik di kelompok ini. Atas usaha pendamping desa yang tanpa kenal lelah bergerilyamencari pembeli, kelompok tersebut telah berhasil mempunyai pasar tetap di hotel-hotel dan toko oleh-oleh di Makassar. Dan dari setiap kemasan produk jamur tiram yang saat ini telah memiliki label halal tersebut, mereka menyisihkan seribu rupiah untuk kegiatan konservasi. Bahkan di umur yang masih sangat muda ini, KTH Samber telah sering menjadi nara sumber kegiatan-kegiatan peningkatan usaha ekonomi masyarakat di Kabupaten Maros dan sekitarnya.

Dengan tidak menafikkan keberhasilan-keberhasilan kegiatan pemberdayaan masyarakat di atas, masih banyak ‘PR’ yang harus dikerjakan oleh pengelola kawasan konservasi. Nyatanya, di lapangan masih banyak persoalan kawasan yang berkaitan dengan masyarakat, terutama pada ranah ‘pertentangan’ terhadap pemakaian lahan hutan antara pemerintah dengan masyarakat, konflik tenurial.

Kemitraan Konservasi

Di dalam Buku Sepuluh Cara (Baru) Kelola Kawasan Konservasi di Indonesia: Membangun “Organisasi Pembelajar”, telah disampaikan fakta-fakta dalam pengelolaan kawasan konservasi, sebagaimana telah ditulis dalam laporan utama. Mempertimbangkan fakta-fakta tersebut, ditambah dengan keterbatasan jumlah dan kapasitas serta kapabilitas staf pengelola kawasan konservasi, maka kemitraan atau kerja sama dengan para pihak, terutama dengan masyarakat di sekitar kawasan konservasi atau lebih lagi, masyarakat yang berada di dalam kawasan konservasi, termasuk masyarakat adat, menjadi suatu keniscayaan.

Perdirjen KSDAE Nomor 6 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi di Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) diterbitkan dengan mempertimbangkan latar belakang tersebut di atas. Mempertimbangkan pula lahirnya kebijakan nasional tentang Perhutanan Sosial, dengan target 12,7 juta hektare selama tahun 2015-2019. Kebijakan nasional yang memberikan akses kelola hutan produksi dan hutan lindung kepada masyarakat yang memang kehidupannya tergantung pada sumber daya hutan tersebut.

Arahan kebijakan tersebut diharapkan dapat memperbaiki kembali hubungan-hubungan antara negara dengan masyarakat pinggir hutan. Sumber daya hutan termasuk kawasan konservasi sudah  seharusnya dapat memberikan sumber penghidupan, saka guru ekonomi masyarakat, sekaligus menjadi sumber daya yang dijaga dan dikelola bersama-sama dengan masyarakat. Masyarakat desa-desa pinggir atau di dalam kawasan konservasi harus menjadi subyek atau pelaku utama.

Kemitraan konservasi terbagi menjadi 2 (dua) bentuk besar, yaitu kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan kemitraan konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem. Kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat merupakan kemitraan dalam rangka mengatur akses masyarakat ke dalam kawasan konservasi, utamanya di zona atau blok tradisional. Sedangkan kemitraan konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem dilakukan untuk memulihkan ekosistem KSA dan KPA yang mengalami kerusakan akibat perbuatan manusia dan daya alam pada KSA dan KPA.

Kemitraan konservasi salah satunya bertujuan untuk ‘meraih’ manfaat ekonomi dari kawasan konservasi, sebagai salah satu jalan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan konservasi tersebut. Skema Kemitraan Konservasi memiliki jangka waktu sekitar 5 sampai 10 tahun yang dapat diperpanjang setelah melalui proses evaluasi oleh pihak pengelola kawasan.

Sampai dengan saat ini tercatat sudah terjalin kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat antara pengelola kawasan konservasi dengan 218 kelompok masyarakat di sekitar 63 kawasan konservasi dengan total area yang dimitrakan seluas 588.626,07 hektare. Salah satu contoh kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat adalah yang telah dilakukan di Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum, yaitu dalam hal pemanfaatan madu hutan di Danau Sentarum. Kemitraan yang terjalin pada tahun 2018 secara nyata mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Di dalam kemitraan tersebut juga menyepakati bahwa anggota Kelompok Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) dan Asosiasi Periau Muara Belitung (APMB) selain memanfaatkan madu, juga melakukan pengamanan dan patroli kebakaran hutan. Kegiatan tersebut berdampak positif dengan meningkatkan produksi madu yang semula 10 - 15 ton per tahun menjadi 20 - 30 ton per tahun.

Kemitraan konservasi di TN Gunung Gede Pangrango diselenggarakan untuk menjamin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) berupa getah pinus oleh Kelompok Tani Hutan pemegang akses pada zona tradisional secara terkendali. Saat ini terdapat 10 KTH yang mendapatkan akses pemungutan HHBK getah pinus pada zona tradisional SPTN Wilayah Bodogol, SPTN Wilayah Tapos dan SPTN Wilayah Situgunung dengan total area kemitraan seluas 224,2 Ha, dengan produksi getah pinus mencapai 96,696 ton di tahun 2018.

Melalui kemitraan konservasi di TN Gunung Gede Pangrango, masyarakat mendapatkan jaminan untuk dapat melakukan pemungutan getah pinus dan getah damar dari kawasan hutan TN Gunung Gede Pangrango. Kawasan pun mendapatkan manfaat berupa pengamanan dan perlindungan khususnya di lokasi kemitraan serta interaksi positif lainnya yang dilakukan oleh anggota kelompok. Tujuan dari pengelolaan kawasan pun tercapai, hutan lestari, masyarakat sejahtera - leuweung hejo, masyarakat ngejo.

Untuk kemitraan konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem, saat ini telah dilakukan 62 kemitraan pada areal seluas 8.838,32 hektare yang melibatkan 2.896 orang masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Pola ini diharapkan selain untuk memulihkan kawasan konservasi, juga sebagai salah satu bentuk penyelesaian konflik lahan/ kawasan. Sebagai contoh adalah kemitraan konservasi pada 11 kelompok tani di Langkat Taman Nasional Gunung Leuser, dimana pertentangan berkepanjangan antara pengelola kawasan dengan masyarakat Desa PIR ADB sebagai penggarap lahan di kawasan warisan dunia tersebut diselesaikan dengan mekanisme kemitraan konservasi. Tentunya dengan tetap terus dilakukan pendampingan kepada ‘para tetangga terdekat’ tersebut.

Namun intinya adalah pengakuan terhadap keberadaan dan hak masing-masing antara kawasan dan masyarakat sekitar menjadi tali pengikat dalam mekanisme kemitraan konservasi ini. Masing-masing saling mengakui haknya, mereka punya hak hidup dan pengelola kawasan punya hak kelola yang bisa disinergikan dalam rangka memperbaiki kawasan yang ‘rusak’ sehingga menjadi lebih baik dan juga berdampak baik pada masyarakat sekitar.***


Artikel ini dimuat di Majalah Rimbawani medio Mei 2020

0 comments:

Posting Komentar