Ini adalah 'bocoran' buku yang akan terbit dalam satu bulan ke depan. Diambil dari tulisan saya di pengantar editor buku itu. Sebuah buku yang ditulis oleh 33 pendamping desa, menceritakan banyak sisi yang pernah mereka lakukan dalam berhubungan dengan masyarakat di sekitar kawasan konservasi, tentu dengan segala dinamikanya. Check it out.....
Satu
hari di siang yang terik, di jalan keluar Kampung Saporkren, tiba-tiba
terdengar suara keras bernada marah dari Mama[1] Dolfina, “Kamu ini orang KSDA
kerja apa? Dari tadi ada suara sensor[2], kom diam saja!!”. Sangat
sederhana. Tapi itu cukup membuktikan kecintaan sekaligus kekhawatiran wanita
tua itu terhadap hutan yang melingkupi kampungnya. Meskipun sebenarnya itu
suara chainsaw sedang dipakai rekanan PU yang baru memperbaiki jalan.
Jauh dari hutan. Dan hal yang sederhana namun bermakna itu salah satu buah
dampingan dari seorang Brian - penyuluh kehutanan BBKSDA Papua Barat - bersama
mitra kerjanya, di kampung itu dimana dahulu suara mesin potong kayu itu biasa
terdengar meraung-raung, dan mereka abai. Sekarang mereka peduli, takut hutan
di sekitarnya rusak.
Pendampingan adalah
kunci dalam proses pemberdayaan masyarakat. Perubahan cara pandang, cara pikir yang
terjadi di masyarakat binaan seringkali merupakan hasil dari pendampingan.
Pendampingan tidak harus dalam bentuk formal atau rapat-rapat. Masyarakat hanya
perlu diajak ngobrol, ngopi bareng, dan paling penting,
didengarkan. Dengan begitu, ketika kesepahaman sudah menyatu, kegiatan untuk
memberdayakan mereka akan lebih mudah dilaksanakan. Bantuan barang atau dana
yang diberikan oleh pengelola kawasan kepada masyarakat tidak akan ada artinya
tanpa sentuhan bernama pendampingan.
Keterbatasan jumlah, kapasitas, dan kapabilitas
staf pengelola kawasan konservasi, seakan memaksa pengelolaan kawasan harus
melibatkan masyarakat di sekitar kawasan tersebut, sebagai subyek. Kenapa?
Karena merekalah tetangga terdekat kawasan, mereka tau hitam-putihnya
kawasan. Dan praktek-praktek ini, alhamdulillah, sudah banyak
dilaksanakan oleh para pengelola kawasan konservasi yang tidak lagi
berpandangan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah sekedar memberikan bantuan.
Pendamping sebagai kepanjangan tangan dari
pengelola kawasan diharapkan bisa berperan sebagai konduktor dalam sebuah
orkestra yang bisa mengharmonisasikan beragam alat musik yang dimainkan
masyarakat menjadi sebuah lagu indah berjudul ‘hutan lestari, masyarakat
sejahtera’. Lagu yang akan semakin sempurna ketika dalam pentas dibantu seorang
arranger, penata busana, penata lampu, dan lain-lain sebagai analogi
parapihak (pemerintah desa, LSM, perguruan tinggi, dan ldan sebagainya).
Namun sayang, keindahan praktek baik itu belum
banyak terdokumentasi dengan rapi dalam bentuk tulisan yang bisa dikonsumsi
banyak orang. Dan buku ini mencoba merekam sedikit proses pendampingan
masyarakat yang sudah dilakukan oleh teman-teman pendamping desa di lapangan, baik
oleh para Penyuluh Kehutanan, Polisi Kehutanan, PEH, ataupun staf lainnya. Dua
puluh delapan judul artikel pendek dan ringan yang ditulis oleh 33 orang ini
diharapkan dapat memberikan inspirasi sekaligus pembelajaran bersama, terutama untuk
para pengelola kawasan konservasi, bagaimana menghadapi masyarakat di sekitar
kawasan konservasi.
Buku ini sebagai sumbangsih para penulis yang
memang terjun langsung dalam praktek pendampingan masyarakat. Mulai dari yang
memang ditetapkan pimpinannya sebagai pendamping desa, sampai dengan pejabat
struktural yang memang punya gairah untuk bergaul dengan masyarakat. Mulai dari
yang memang telah makan asam garam dalam mendampingi masyarakat, sampai dengan
staf baru yang belum terhitung tahun belajar bergaul dengan masyarakat. Mulai
dari pendamping yang bertipe serius, sampai yang sangat lucu - sayangnya
tulisannya cuma singkat di buku ini, sesingkat panggilannya, Ken.
Kisah-kisah yang
diceritakan di dalam buku ini dibuat ‘seringan’ mungkin bobot bahasan-nya,
dengan gaya berkisah dan bahasa bertutur, sehingga diharapkan mudah ‘ditangkap’
siapapun.
Sejalan dengan konsep tulisan buku ini yang memang terkesan ‘acak’, penulis
bebas menuliskan apa yang ingin mereka ceritakan, dengan bahasa mereka. Mulai
dari tulisan yang menceritakan yang detail tentang bagaimana dia ‘mengelus-elus’
masyarakat untuk akhirnya bisa sepaham, sampai dengan tulisan pendek berupa
rangkaian catatan perjalanan. Tidak ada pertimbangan khusus pengurutan tulisan
di dalam buku ini, hanya mengurutkan dari barat ke timur. Itu saja.
Dari yang dicurahkan
para pendamping di buku ini, ternyata terdapat banyak pesan di balik proses
pendampingan mereka, salah satunya adalah bahwa pendampingan bisa sebagai obat peredam
konflik antara masyarakat dengan kawasan konservasi. Pendekatan yang dilakukan
pendamping di Desa Vega ternyata ampuh mengubah mindset masyarakat yang
tadinya menolak taman nasional, berubah menjadi pendukung taman. Juga yang
terjadi di Aketajawe Lolobata, petugas resort yang rajin ngopi di desa
penolak Ajalo, pelan-pelan bisa mengalahkan hati masyarakat untuk bisa
berdamai, dan terus mendampingi desa itu untuk merawat perdamaian. Demikian juga
yang dilakukan Supri di Joben.
Di buku ini, kita juga
dapat menemukan nilai-nilai indah yang dapat diambil di dalam proses teman-teman
bergaul di lapangan. Misalnya, ada nilai ketulusan, kebesaran hati, dan
kekuatan tekad yang bisa diambil dari pengalaman Asep dalam ‘membelai’ Suku
Anak Dalam. Bagaimana dengan ketulusan yang luar biasa dia menemani, mengajari,
dan melatih dengan tekun 2 anak SAD yang ingin bersekolah lebih tinggi. Namun
anak-anak itu nyatanya gagal masuk, dan Asep disalahkan, dicaci, bahkan diusir.
Tetapi dia tidak patah semangat. Sampai hari ini dia tetap teguh mendampingi
masyarakat SAD agar tetap bisa mengejar ketertinggalan.
Tidak dapat didebat,
keberhasilan dari sebuah proses pemberdayaan masyarakat tidak dapat dilepaskan
dari kekompakan para pihak. Kekompakan antara pendamping dengan kelompok,
antara kelompok dengan pemerintah desa, diantara anggota kelompok, dan
sebagainya. Bahkan kekompakan antar pendamping diyakini akan berakhir indah,
seperti yang dilakukan Harri - Venza - Arini di Tanabentarum; dimulai dari
obrolan ringan di warung mietiaw, saling curhat masalah di desa
dampingan, sampai akhirnya terpikir mengikuti sebuah ‘kontes’ tingkat nasional,
dan juara.
Banyak hal dilalui teman-teman
pendamping dalam proses mereka memberdayakan masyarakat dampingannya dan
memperjuangkan kelestarian kawasan, melalui metode yang tidak lazim yang bahkan
tidak terpikir oleh kita. Seperti apa yang dilakukan Chandra ketika berusaha
merangkul Kampung Tablasupa. Dia harus melalui ‘Tiga Tungku’[3] demi
program lancar dan tetap harmoni dalam perjalanannya. Dan ketika dilakukan
dengan ‘taat’, hasilnya luar biasa. Tablasupa menjelma menjadi kampung yang
kuat dalam keikutsertaannya melestarikan Cycloops, kokoh dalam usaha
peningkatan ekonomi masyarakatnya. Juga metode yang diterapkan Sugi di
Sumberklampok - yang dulu dianggap sebagai desa penghabis curik bali - dengan
masuk ke desa tanpa ngomongin program, tanpa ngobrolin
konservasi, di awal-awal pergaulan. Nyatanya, selama proses pendampingan sampai
sekarang, populasi curik bali di habitatnya terus naik.
Namun demikian, proses
pendampingan terhadap kelompok masyarakat bukannya tanpa pengorbanan.
Pengorbanan sering dilakukan oleh pendamping, bahkan oleh masyarakat yang
didampingi. Berkorban waktu, tenaga bahkan materi. Seorang Irawan – Kepala
Resort Majang yang pernah merelakan Tukin-nya demi anak-anak muda
bimbingannya di MPA bisa membeli bahan bakar agar tetap bisa berperang melawan
api, di saat anggaran pemerintah belum turun. Venza dan kawan-kawannya yang
merelakan sebagian uang di dompetnya untuk patungan membeli barang yang
dibutuhkan kelompok.
Dari masyarakat, ada pengorbanan
Saka Gaman, pemuda pendiam petugas puskesmas - yang merelakan aset homestay-nya
untuk berbagi dengan para anggota kelompoknya agar bisa menambah penghasilan
mereka. Dia juga yang harus menembus hutan, naik ke puncak terjal bukit
tertinggi di sekitar kampungnya hanya untuk mendapatkan sinyal untuk sekedar
menyampaikan kabar atau menanyakan sesuatu ke pendampingnya. Mereka berkorban
demi apa yang mereka cita-citakan untuk masyarakat tercintanya.
Bicara tentang
masyarakat sekitar hutan konservasi. Setidaknya ada dua karakter menonjol dari
sebagian besar masyarakat itu, yaitu menginginkan hasil instan dan baru percaya
ketika melihat contoh. Harus diakui, pemberdayaan masyarakat memang butuh
waktu. Pendamping harus mampu meyakinkan masyarakat binaannya dengan baik,
tarik ulur – ‘setelan gas dan rem’ juga mesti berfungsi dengan benar. Banyak
praktek pendampingan di lapangan yang berhasil mencapai tujuannya secara cepat,
seperti yang dilakukan teman-teman di Samaenre, penghasilan anggota kelompok
naik berlipat dan upaya ‘konservasi’ muncul dalam waktu kurang dari 2 tahun
pendampingan. Namun banyak juga desa yang telah didampingi selama
bertahun-tahun, namun belum juga meningkat taraf ekonomi maupun kesadaran
konservasinya. Memang tidak bisa instan.
Menyadari karakter
‘baru percaya ketika melihat contoh’, praktek-praktek comparative study masyarakat
ke tempat-tempat lain yang lebih maju sudah dilakukan para pengelola kawasan.
Ditemani pendampingnya, tokoh masyarakat Kobe – Binaan TN Ajalo diajak melihat
keberhasilan pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat di Taman Nasional Gunung
Ciremai. Sepulang perjalanan itu, mereka sadar akan potensi desanya, dan tidak
ada lagi permusuhan dengan pengelola kawasan konservasi. Pun yang dilakukan
para tokoh desa di sekitar TN Matalawa yang diajak belajar ke Mangunan,
Yogyakarta.
Dalam proses
pendekatan ke masyarakat, selalu ada tokoh protagonis yang terlibat, baik itu
sebagai jembatan bagaimana mendekati masyarakat sampai dengan bagaimana orang
tersebut mempunyai peran penting di dalam mencapai tujuan pemberdayaan di
lokasi tertentu. Misalnya ada Kang Uden di Gekbrong – Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango, Pak Dulkadi di Sumberklampok – Taman Nasional Bali Barat, Mas
Karti dari Joben – Taman Nasional Gununug Rinjani, Bapak Ella di Desa Bidi
Praing – Taman Nasional Matalawa, dan lain-lain. Teman-teman pendamping sering
menyebut mereka sebagai local champions. Tokoh-tokoh itulah yang
menguatkan tekad para pendamping untuk tidak menyerah di tengah jalan. Sosok
yang selalu mendukung niat baik, menjadi tameng saat pendamping sebagai
representasi pengelola kawasan, ‘diserang’ lawan di desanya.
Tentang ‘ketokohan’ di
desa target dampingan, selalu ada sosok unik di setiap kelompok binaan. Sebut
saja Pak Yopi Gaman bila di KTH Waifoi. Dia memang bukan tokoh yang menduduki
‘jabatan penting’ di kampungnya. Tapi keberadaannya selalu dirindukan oleh
orang yang pernah bertemu dengannya. Lelaki setengah abad yang selalu membawa
ukulele buatan sendiri ini sebenarnya nir aksara, namun ketika dilatih bahasa
inggris selama 2 minggu, ternyata dia mampu mempraktekkan dan dengan
kepercayaan dirinya pula dia berani menjadi guide bagi pelancong yang
berkunjung ke kampungnya. Dia selalu menjadi guide favorit bagi wisman
karena pembawaannya yang ramah dan selalu berusaha membuat tamunya tertawa.
Kepada teman-temannya di kampungnya, selalu ada pesan hebat yang dilontarkan
Pak Yopi, antara lain melalui analogi hutan adalah ibu, dan laut adalah bapak yang
tampaknya cukup ampuh menghipnotis pendengarnya.
Namun dari semua itu,
dalam proses ‘bergaul’ dengan masyarakat, ada bagian yang terpenting di dalam
setiap proses pendampingan, yaitu dengarkan mereka dan jujur kepada mereka.
Mereka tidak boleh dibohongi. Sehingga dengan senang hati mereka menciptakan
harmoni indah dengan mengiringi senandung merdu para pendampingnya – sang
penjaga taman, sampai di akhir lagu.***
[1]
panggilan untuk ‘ibu-ibu’ di Tanah Papua
[2]
maksudnya adalah chainsaw
[3] pemerintahan,
adat dan agama